Hari ini, Kamis (16 Oktober 2025), suasana di Markas Kepolisian Daerah Sumatera Selatan tampak berbeda dari biasanya. Puluhan tokoh umat Islam dari berbagai elemen datang secara terkoordinasi untuk menyampaikan pernyataan sikap atas tayangan program “Xposed Uncensored” Trans7 yang ditayangkan pada 13 Oktober 2025 — tayangan yang dinilai telah menista dan merendahkan martabat Kyai, santri, dan pesantren secara vulgar dan provokatif.
Tayangan tersebut menampilkan narasi yang dinilai sangat sinis terhadap kehidupan pesantren, bahkan menuduh para Kyai hidup bermewah-mewah dari amplop santri serta memperlakukan santri layaknya jongos.
Isi tayangan itu telah menimbulkan gelombang keprihatinan dan kemarahan luas di tengah umat Islam, khususnya kalangan pesantren, para santri, dan alumni pondok-pondok besar di Indonesia.
Elemen yang hadir menyuarakan protes di Polda Sumsel hari ini cukup lengkap, berasal dari MUI Sumsel, PWNU Sumsel, DPP FORPESS, PW JATMAN Sumsel, PW RMI Sumsel, PW LDNU Sumsel, LBH NU Sumsel, Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) se-Sumsel, HIMASAL (Himpunan Alumni dan Santri Lirboyo) Sumsel, serta para pengasuh dan pimpinan pesantren dari berbagai daerah di provinsi ini.
Mereka datang menuntut keadilan dan tanggung jawab hukum terhadap Trans7 dan pihak-pihak yang terlibat dalam produksi tayangan tersebut.
Dalam pernyataan sikapnya, para tokoh menegaskan bahwa mereka tidak bisa menerima penghinaan terhadap para Kyai dan santri, apalagi terhadap KH. Anwar Manshur, salah satu Kyai sepuh Pondok Pesantren Lirboyo, tokoh kharismatik yang sangat dihormati di kalangan pesantren tradisional.
Ketua PWNU Sumsel, KH. Hendra Zainuddin Al-Qodiri, menegaskan bahwa Trans7 telah melampaui batas etika dan moral jurnalistik.
“Ini bukan hanya soal kesalahan tayangan, tapi pelecehan terhadap simbol-simbol keilmuan dan spiritual bangsa. Kyai adalah pewaris para Nabi. Ketika mereka dihina, yang direndahkan bukan hanya pribadi, tetapi marwah keulamaan dan pesantren,” tegas KH. Hendra.
Beliau menuntut agar produser dan seluruh tim kreatif program Xposed Uncensored dimintai pertanggungjawaban hukum, dan agar sanksi tegas dijatuhkan kepada pihak-pihak yang terlibat.
Desakan Pencabutan Izin Siar Trans7
Nada yang lebih keras datang dari Dr. KH. Muhsin Salim, S.Pd.I., M.Pd.I., Ketua Umum FORPESS (Forum Pengasuh Pondok Pesantren Sumatera Selatan) — organisasi yang menaungi lebih dari 700 pondok pesantren di wilayah Sumsel.
Dalam pernyataannya, KH. Muhsin mengecam keras tindakan Trans7 yang dianggap telah melakukan penghinaan terang-terangan terhadap para Kyai dan lembaga pesantren.
“Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi bentuk ujaran kebencian terhadap komunitas religius terbesar di negeri ini. Semua pihak yang terlibat harus dihukum. Bila perlu, izin siar Trans7 dicabut, karena telah menimbulkan keresahan sosial dan merusak citra lembaga pendidikan Islam,” ujarnya tegas.
Sementara itu, KH. Syukron Makmun, mewakili HIMASAL (Himpunan Alumni dan Santri Lirboyo) Sumsel, membacakan pernyataan sikap resmi yang berisi kecaman keras terhadap narasi fitnah dalam tayangan Trans7 tersebut.
HIMASAL menilai tayangan itu bukan hanya melecehkan KH. Anwar Manshur secara pribadi, tetapi juga menghina seluruh pesantren dan tradisi keilmuan Islam di Indonesia.
“Kami mendesak KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) menjatuhkan sanksi tegas berupa pencabutan izin siar Trans7, dan meminta aparat penegak hukum memproses seluruh pihak yang terlibat dalam produksi tayangan tersebut,” seru KH. Syukron di hadapan media.
Koordinator para Kyai dan tokoh pesantren yang hadir, KH. Nursalim Habibi, menegaskan bahwa kasus ini tidak boleh hanya berhenti pada permintaan maaf.
“Kita tidak sedang bicara soal perasaan tersinggung. Ini sudah masuk ranah delik ujaran kebencian dan penghasutan yang menimbulkan kegaduhan dan keresahan sosial. Produser, tim kreatif, dan pihak manajemen Trans7 harus diperiksa secara hukum,” tegasnya.
Adapun para tokoh yang hadir dalam pernyataan sikap di Polda Sumsel antara lain:
- KH. Amin Dimyati (MUI Sumsel)
- KH. Hendra Zainuddin, KH. Syarif Choumas Asyawaly, Kyai Syaifudin Zubair (PWNU Sumsel)
- KH. Muhsin Salim, KH. Masluk Ar-Rodly, Gus Nanda (FORPESS)
- Gus Damas Alhasy (LDNU Sumsel)
- Kyai Misbachul Munir (JATMAN Sumsel)
- KH. Munawir, KH. Ali Mohsen, KH. Qoiduzzuhad (FMPP Sumsel)
- KH. Muhsan, Kyai Zainal Abidin, Gus Ulin Nuha (RMI Sumsel)
- KH. Nur Khozin, KH. Tajuddin Anwar, KH. Syukron Makmun, KH. Nursalim Habibi, Kyai Zainul Arifin, Agus Wahid Hasyim (HIMASAL Sumsel)
- serta para pimpinan pesantren seperti KH. Syamsudin, KH. Qusyairi Abror, dan KH. Mursyidi, dll.
Kehadiran mereka menandai soliditas umat Islam Sumsel dalam membela kehormatan Kyai dan pesantren, sekaligus menjadi pesan moral bagi dunia media agar lebih berhati-hati dalam menyiarkan konten yang menyangkut simbol-simbol keagamaan.
Pesan dari Umat Islam Sumsel
Di akhir pertemuan, para tokoh bersepakat untuk melanjutkan langkah advokasi dengan mengirimkan laporan resmi ke KPI Pusat, serta ke Dewan Pers. Mereka juga menyerukan agar seluruh pondok pesantren di Indonesia bersatu menjaga marwah dan kehormatan ulama, serta mengajak masyarakat untuk lebih kritis terhadap media yang menyebarkan fitnah dan provokasi.
“Kyai adalah penjaga iman dan ilmu umat. Menghina Kyai berarti menghina akar peradaban Islam di Indonesia,” tutur KH. Nur Salim Habibi menutup pernyataannya.
Para Kyai, tokoh dan santri meninggalkan area Polda Sumsel dengan tertib dengan satu pesan yang bergema: “Harga diri Kyai dan Pesantren tidak untuk ditawar. Umat Islam bersatu melawan penistaan.” (GD/SN)
