Aspirasi SantriDawuh GuruEditor's PicksKaderisasiKail (Kajian Ilmu)

Menata Ulang Kesadaran Umat Dari Penyesatan Doktrin Habaib

Selama bertahun-tahun, umat Islam di Indonesia dikenal memiliki penghormatan yang tinggi terhadap kelompok yang dikenal sebagai habaib, yakni mereka yang mengaku sebagai keturunan Rasulullah ﷺ.

Dalam tradisi masyarakat Muslim Nusantara, gelar ini lekat dengan simbol kesucian, kehormatan, dan keilmuan.

Tak sedikit masyarakat yang meyakini bahwa mencintai habaib berarti mencintai Nabi; bahkan sebagian doktrin yang beredar menyebutkan bahwa mencintai mereka adalah jaminan surga, sedangkan membenci mereka berarti celaka.

Keyakinan semacam ini membentuk kultur ta’dzim (penghormatan mendalam) terhadap para habaib. Banyak masyarakat yang kemudian menjadi muhibbin — sebutan bagi para pengagum habaib.

Namun, di sisi lain, doktrin-doktrin tersebut acapkali diterima mentah-mentah tanpa verifikasi ilmiah, sehingga menimbulkan kesenjangan antara penghormatan spiritual dan sikap kritis rasional.

Dalam perjalanan waktu, kalangan habaib mulai menampilkan sikap yang justru berseberangan dengan nilai-nilai akhlak mulia yang diajarkan Nabi. Fenomena arogansi moral, klaim kemuliaan nasab, bahkan tindakan kekerasan yang dilakukan dengan mengatasnamakan “darah Rasulullah”, menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat.

Kasus-kasus di ruang publik yang menampilkan perilaku kasar, penghardikan terhadap aparat hukum, atau klaim kebal hukum atas dasar garis keturunan, menjadi sorotan tajam.

Di panggung-panggung, mereka yang mengusung nama “habib” justru menampilkan wajah dakwah yang berorientasi pada kepentingan material.

Fenomena ndawir — tradisi keliling dari satu majelis ke majelis lain sambil meminta donasi — menjadi pemandangan biasa. Tak jarang, panggung-panggung pengajian juga disertai dengan lelang barang-barang yang disebut “berkah habaib”, dijual dengan harga selangit.

Lebih ironis lagi, muncul praktik perdagangan benda-benda yang diklaim sebagai “peninggalan Rasulullah” atau “barang-barang suci dari Hadramaut”, padahal banyak di antaranya hanyalah barang imitasi tanpa bukti sejarah yang valid.

Fenomena ini menimbulkan kegelisahan di kalangan umat Islam sendiri. Publik mulai bertanya: ke manakah arah dakwah seperti ini? Apakah panggung dakwah masih menjadi sarana menebar ilmu dan akhlak, atau sudah bergeser menjadi industri pencitraan dan ekonomi keagamaan?

Bagi sebagian pengikut fanatik — yang disebut muhibbin — loyalitas bukan hanya spiritual, tetapi juga finansial. Mereka rela mengorbankan harta demi menunjukkan cinta kepada para “habib”.

Fenomena yang tak kalah memprihatinkan adalah munculnya upaya mem-Baalawi-kan tokoh-tokoh pejuang dan wali pribumi. Tiba-tiba nama-nama mereka diklaim sebagai bagian dari silsilah habaib. Makam-makam kuno yang dulu dikenal sebagai makam ulama Jawa tiba-tiba berubah nama dan bergelar “habaib”.

Fenomena ini bukan sekadar masalah identitas, melainkan bentuk kolonialisasi simbolik yang berpotensi menghapus sejarah dan jati diri ulama pribumi Nusantara.

Publik mulai bertanya-tanya: apakah benar mereka keturunan Nabi? Sebab, jika nasab itu benar adanya, tentu seharusnya akhlak yang tampak adalah akhlak yang santun dan penuh kasih sebagaimana dicontohkan Rasulullah ﷺ.

Munculnya Kritik Nasab

Pertanyaan-pertanyaan ini menemukan momentum ketika muncul kajian ilmiah dari KH Imaduddin Utsman al-Bantany yang berjudul Tesis Kritis tentang Genealogi Ba’alawi. Dalam penelitiannya, beliau menelusuri silsilah kaum Ba’alawi yang selama ini mengaku sebagai keturunan Nabi melalui jalur Husain bin Ali.

Hasil risetnya memunculkan dugaan adanya ketidaksinambungan dalam rantai nasab tersebut — terutama pada figur yang disebut Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir, yang ternyata tidak tercatat dalam kitab-kitab nasab klasik dari abad ke-4 hingga ke-8 Hijriyah.

Temuan ini tentu mengguncang persepsi yang telah mengakar selama ratusan tahun. Namun, di sisi lain, ia juga membuka ruang diskusi yang sehat tentang pentingnya kejujuran ilmiah dan verifikasi sejarah. Sebab, Islam tidak mengenal kasta berdasarkan darah atau keturunan, tetapi memuliakan manusia berdasarkan ketakwaan dan akhlak.

Kebangkitan Kesadaran Pribumi

Kegelisahan tersebut melahirkan gerakan sosial dari kalangan ulama dan santri pribumi, yang bertekad untuk mengembalikan marwah Islam Nusantara kepada ruh aslinya — Islam yang membumi, santun, dan menolak pengkultusan manusia.

Salah satunya adalah berdirinya organisasi seperti Perjuangan Walisongo Indonesia – Laskar Sabilillah (PWI-LS), yang berfokus pada pemberdayaan umat dan penguatan kemandirian ulama serta pesantren pribumi.

Gerakan ini bukan bermaksud menebar kebencian, melainkan untuk mengoreksi dominasi simbolik yang selama ini terjadi di berbagai panggung dakwah dan kegiatan keagamaan. Misalnya, pengajian besar, haul, atau majelis shalawat yang seakan menjadi monopoli segelintir kalangan, kini didorong agar lebih inklusif dan memberi ruang bagi para kyai dan ulama pribumi yang juga berilmu dan berakhlak mulia.

Munculnya kritik terhadap nasab Baalawi dan terbentuknya organisasi PWI-LS tidak bisa dibaca sebagai pertentangan antara habaib dan pribumi, tetapi sebagai momentum maturitas intelektual umat Islam. Sudah saatnya umat menata ulang tradisi penghormatan agar tidak terjerumus ke dalam kultus keturunan.

Menghormati keturunan Nabi tentu baik dan mulia, tetapi menghormati keturunan atau dzurriyah Nabi yang sahih; bukan kepada keturunan nabi yang palsu.

Islam datang untuk memuliakan semua manusia tanpa membedakan ras, warna kulit, atau nasab. Ketinggian derajat seseorang di sisi Allah bukan karena garis keturunan, melainkan karena takwa dan akhlaknya. Keteladanan moral, bukan klaim darah, yang menjadi ukuran kemuliaan dalam Islam.

Kini, kesadaran umat tengah tumbuh: bahwa kemuliaan tidak diwariskan, tetapi diperjuangkan. Kecintaan kepada Nabi ﷺ bukan diukur dari seberapa tinggi kita mengagungkan nama keturunannya, melainkan sejauh mana kita meneladani ajaran, akhlak, dan kasih sayang beliau.

Umat Islam Indonesia sedang bergerak menuju fase baru: dari kultus nasab menuju kesadaran rasional dan spiritual. Dan dalam proses ini, para ulama dan kyai pribumi memiliki peran besar untuk memimpin umat kembali kepada nilai-nilai Islam yang murni — adil, santun, dan berkeadaban. (SN)

Related posts