Aspirasi SantriEditor's PicksKaderisasiPolitik

PWI-LS: Gerakan Pribumi untuk Marwah Walisongo, Kyai dan NKRI

Sejak dibentuk pada tanggal 29 Agustus 2023 di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon dan dideklarasikan secara resmi di Cilacap pada 6 Oktober 2023, Perjuangan Walisongo Indonesia – Laskar Sabilillah (PWI-LS) hadir sebagai gerakan sosial–spiritual yang mengusung semangat besar: mengembalikan marwah Islam Nusantara yang diwariskan para wali dan ulama pribumi.

Berawal dari Cirebon—tanah yang dikenal sebagai pusat peradaban Islam awal di Jawa—gerakan ini berkembang menjadi jaringan nasional dengan semangat persaudaraan, kemandirian, dan keberpihakan pada umat.

Akar Sejarah dan Ideologi Perjuangan

Nama “Walisongo” bukan sekadar simbol sejarah, melainkan representasi dari nilai dakwah yang damai, inklusif, dan membumi. Para pendiri PWI-LS meyakini bahwa warisan dakwah Walisongo harus dijaga dari segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan. Nilai-nilai seperti tauhid, cinta tanah air, dan penghormatan terhadap tradisi luhur menjadi fondasi perjuangan organisasi ini.

Dalam konteks itu, PWI-LS berkomitmen untuk meluruskan pemahaman sejarah Islam dan perjuangan bangsa yang mulai kabur akibat dominasi narasi luar yang tidak sesuai dengan realitas lokal.

“Kita bukan anti siapa pun,” ujar Ketua Umum PWI-LS, Gus Abbas Billy Yachsi, dalam beberapa kesempatan.

“Kita hanya ingin menjaga ajaran Islam sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW dan diwariskan oleh Walisongo kepada umat di bumi Nusantara.” tegasnya.

Gerakan Kultural dan Spiritual Pribumi

PWI-LS tidak sekadar berbicara ideologi; organisasi ini bergerak di lapangan. Struktur organisasinya kini telah terbentuk di berbagai daerah, mulai dari tingkat provinsi hingga desa, dan menjadi wadah sinergi ulama, santri, tokoh adat, dan masyarakat pribumi. Kegiatan yang dilakukan mencakup dakwah kultural, pendidikan Islam, pelestarian situs sejarah serta makam para ulama dan kyai, hingga advokasi kebangsaan.

Salah satu agenda utama yang dijalankan organisasi ini adalah pelurusan dan pemulihan identitas sejarah makam para wali dan ulama pribumi yang mengalami distorsi luar biasa karena pemalsuan dan pembelokan yang dilakukan oleh habaib klan Baalawi.

“Begitu banyak makam dipalsukan, dan ini sangat berbahaya bagi sejarah dan keberlangsungan NKRI. Maka kita harus meluruskan dan membongkar makam-makam palsu yang tersebar hampir di seluruh penjuru negeri kita,” tegas Gus Abbas menginstruksikan kepada anggota PWI-LS.

Bagi PWI-LS, urusan ini bukan sekadar urusan makan atau nama, tetapi tentang menghormati leluhur dan menjaga kejujuran sejarah bangsa serta mencegah agar negeri ini tidak diklaim pihak asing dimasa depan.

Selain itu, organisasi ini juga aktif dalam gerakan sosial seperti santunan yatim, bantuan untuk pesantren, serta pelatihan kader muda santri yang berjiwa nasionalis dan berakhlak. Semua kegiatan itu berpijak pada semangat “Laskar Sabilillah”—semangat berjuang di jalan Allah demi kemaslahatan umat dan keutuhan NKRI.

Menjaga Kemandirian dan Harga Diri Umat

Dalam narasi PWI-LS, perjuangan spiritual dan kebangsaan tidak dapat dipisahkan. Islam yang datang ke Nusantara pada masa Walisongo bukanlah agama penjajah, melainkan agama pembebasan yang menegakkan kehormatan manusia. Karena itu, PWI-LS menolak segala bentuk kasta sosial, dominasi ideologis, ekonomi, maupun kultural dari luar (terutama dari kelompok habaib yang berpotensi melemahkan jati diri bangsa.

“Sudah saatnya umat Islam di Indonesia berdiri di atas kaki sendiri,” tegas KH Imaduddin Utsman Al-Bantany, Wakil Ketua PWI-LS. “Kita harus percaya bahwa Islam Nusantara memiliki kekayaan spiritual dan intelektual yang luar biasa, tanpa perlu tunduk pada hegemoni siapa pun, terutama pada habaib.” katanya dengan bersemangat.

Cahaya dari Buntet Cirebon

Menjadikan Buntet Cirebon sebagai pusat gerakan bukanlah pilihan tanpa makna. Buntet dikenal sebagai salah satu pesantren tertua yang menjadi benteng tradisi Islam moderat dan nasionalis. Dari sanalah PWI-LS menyalakan kembali semangat “jihad Islam dan Jihad Kebudayaan” untuk melawan segala bentuk penjajahan baru—baik dalam bentuk fisik maupun ideologi.

Organisasi ini berkeyakinan bahwa kekuatan ruhani para leluhur adalah energi besar yang menjaga negeri ini dari keterpurukan. Maka, PWI-LS memandang dirinya bukan sekadar organisasi sosial, tetapi juga gerakan spiritual bangsa yang memanggil kesadaran kolektif umat Islam untuk kembali kepada nilai-nilai asli perjuangan Walisongo: berdakwah dengan akhlak, berislam dengan cinta, dan bernegara dengan tanggung jawab.

Meski tidak selalu mudah, PWI-LS terus bergerak tanpa bergeming. Mereka meyakini bahwa perjuangan ini bukan sekadar untuk hari ini, tetapi untuk masa depan Islam dan Indonesia yang lebih berdaulat dan berwibawa.

“Selama masih ada anak negeri yang mencintai bangsanya dengan tulus, selama masih ada santri yang sujud di bumi pertiwi dengan doa untuk keselamatan umat, maka semangat Walisongo tak akan pernah padam,” kata Gus Abbas di salah satu pertemuan nasional PWI-LS.

Dan benar, di tengah arus globalisasi spiritual yang kian deras, PWI-LS menjadi suara yang menyerukan kesadaran baru, yaitu bahwa menjaga agama berarti juga menjaga tanah air, dan mencintai tanah air berarti menjaga warisan para wali. (Gus Damas Alhasy/SN)

Related posts