Aspirasi SantriEditor's PicksKail (Kajian Ilmu)MasyayikhSantri Keren

LBM NU: Think Tank Sunyi di Tengah Bisingnya Narasi Keagamaan Digital

Bahtsul Masail, atau yang dikenal dengan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdlatul Ulama, merupakan salah satu banom (badan otonom) paling strategis dalam tubuh Nahdlatul Ulama.

Ia bukan sekadar forum diskusi keagamaan, melainkan “think tank” atau dapur intelektual yang membahas berbagai problem keumatan lintas bidang: agama, sosial, ekonomi, politik, pendidikan, bahkan problem kemasyarakatan yang sangat aktual.

Para penggerak dan aktivis Bahtsul Masail bukan orang sembarangan. Mereka adalah cendekiawan muslim yang mumpuni, terdiri dari para kiai, ulama, alumni pesantren, serta santri-santri senior yang kuat tradisi keilmuannya.

Keputusan-keputusan Bahtsul Masail bukan hasil debat dangkal, tetapi buah dari istinbath (penggalian hukum) yang matang, mendalam, dan berakar pada khazanah klasik Ahlussunnah wal Jama’ah.

Potensi Intelektual yang Kurang Gaung

Secara struktur, LBM NU tersebar dari tingkat pusat (PBNU) hingga ke tingkat cabang, bahkan sampai di tingkat kecamatan dan kelurahan. Artinya, secara logika, hasil-hasil Bahtsul Masail seharusnya telah menjadi rujukan utama bagi masyarakat dalam memahami dan menyelesaikan berbagai persoalan keagamaan dan sosial.

Namun realitas di lapangan tidak demikian. Hasil-hasil Bahtsul Masail nyaris tak terdengar di ruang publik. Padahal setiap bulan, setiap tahun, berbagai forum Bahtsul Masail digelar di seluruh penjuru Indonesia — membahas topik-topik aktual mulai dari hukum fintech syariah, gaya hidup digital, zakat profesi, etika politik dan lain-lain.

Ironisnya, di tengah potensi intelektual LBM yang luar biasa itu, masyarakat umum tidak banyak tahu hasilnya. Ketika umat menghadapi persoalan keagamaan, yang mereka temui justru bukan pandangan hasil Bahtsul Masail, melainkan konten-konten dari penceramah atau ustadz di media sosial yang sebagian besar berasal dari kelompok non-NU — bahkan tak jarang dari paham puritan yang cenderung kaku dan tidak kontekstual dengan kultur Indonesia.

Dominasi Narasi Puritan di Media Sosial

Kita hidup di zaman digital, di mana otoritas keilmuan tidak lagi hanya ditentukan oleh kedalaman ilmu, tetapi oleh seberapa viral sebuah konten.

Media sosial seperti YouTube, TikTok, Facebook, atau Instagram, kini menjadi sumber utama “kajian keislaman” bagi masyarakat awam. Di platform-platform inilah arus besar narasi keagamaan puritan (biasanya disebut ajaran Salafi atau Wahabi) justru sangat dominan, bahkan merambah ke stasiun-stasiun TV nasional, — dengan gaya retoris, penuh semangat, tetapi sering kali mengabaikan konteks sosial dan kearifan lokal.

Dampaknya terasa di akar rumput. Gesekan antarumat Islam meningkat. Saling mengkritik, menuding bid’ah, bahkan menghina praktik keagamaan yang menjadi tradisi mayoritas umat Islam Indonesia — seperti tahlilan, maulidan, qunut, atau ziarah kubur. Padahal, ajaran-ajaran inilah yang menjadi bagian dari Islam Nusantara yang ramah, toleran, dan penuh hikmah.

Pertanyaan Kritis: Di Mana Suara Bahtsul Masail?

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Kemana hasil-hasil Bahtsul Masail? Bagaimana masyarakat bisa mengaksesnya? Apakah ia hanya berhenti di meja musyawarah dan laporan internal NU?

Sebagai warga NU di akar rumput, penulis merasa perlu mengajukan kritik ke dalam — bukan untuk menjatuhkan, tetapi sebagai bentuk muhasabah dan rasa cinta.

Sudah saatnya LBM NU tidak hanya aktif berdiskusi, tetapi juga aktif menyebarluaskan hasilnya secara strategis dan sistematis.

Kita butuh digitalisasi hasil-hasil Bahtsul Masail, yang mudah diakses publik melalui portal resmi, media sosial, podcast, video pendek, atau kanal YouTube yang dikelola dengan serius.

Kita butuh tim kreatif digital Aswaja di setiap tingkatan, yang bisa mengemas keputusan LBM dalam bahasa populer dan menarik, tanpa mengurangi bobot keilmuannya.

Kita butuh sinergi antara ulama dan aktivis media, antara pesantren dan kreator konten, agar pandangan Aswaja tetap menjadi cahaya penuntun di tengah hiruk-pikuk informasi, terutama di negeri ini, negeri Bhinneka Tunggal Ika.

Menunggu Era Baru Bahtsul Masail

Bahtsul Masail tidak bisa hanya menjadi menara gading. Ia harus menjadi menara cahaya — yang memancarkan pandangan Islam rahmatan lil ‘alamin ke setiap ruang digital, ke setiap rumah, ke setiap layar ponsel umat Islam Indonesia.

Jika NU memiliki 50% populasi muslim Indonesia, maka LBM NU seharusnya menjadi corong utama panduan keagamaan digital bangsa ini. Bukan hanya dikenal oleh kalangan santri, tetapi juga oleh masyarakat luas yang mencari jawaban atas problem kehidupan mereka di era modern ini.

Sudah saatnya LBM NU bertransformasi dari forum diskusi tertutup menjadi pusat rujukan keislaman digital terbesar di Indonesia.

Dengan demikian, keputusan-keputusan para ulama tidak akan lagi hanya menjadi dokumen, tetapi menjadi narasi hidup yang menuntun umat — sebagaimana prinsip dan cita-cita besar Islam Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah: al-muhafazhah ‘ala al-qadim as-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah — menjaga tradisi yang baik, dan mengambil inovasi yang lebih maslahat. (SN)

Penulis: Gus Damas Alhasy, SS.

Catatan:

Tulisan ini merupakan bentuk refleksi dan cinta penulis terhadap peran strategis Lembaga Bahtsul Masail NU, agar tetap relevan dan hadir dalam dinamika keumatan di era digital.

Related posts