Di tengah kehidupan keagamaan umat Islam Indonesia yang kian dinamis, isu tentang habaib sebagai dzurriyah Nabi menjadi perbincangan yang panas. Polemik ini muncul bukan tanpa sebab. Ia meledak ketika sejumlah kalangan, termasuk ulama dan peneliti seperti KH Imaduddin Utsman Al-Bantany, mulai mempertanyakan klaim sebagian kelompok keturunan Hadramaut—khususnya klan Ba‘alawi—yang menyebut diri mereka sebagai cucu Rasulullah ﷺ.
Polemik ini tidak sekadar soal darah dan silsilah, tetapi sudah merambah pada wilayah yang jauh lebih kompleks: otoritas keagamaan, pengaruh sosial, dan legitimasi moral di tengah masyarakat Islam Indonesia.
1. Antara Darah dan Akhlak
Sejak masa awal penyebaran Islam di Nusantara, para pendakwah dari daratan Arab memang memainkan peran penting. Banyak di antara mereka datang membawa ilmu, berdakwah dengan damai, dan menikah dengan penduduk lokal. Dari sinilah lahir komunitas keturunan Nabi yang kemudian berkembang di pesisir Nusantara.
Namun dalam perjalanan sejarah, muncul ketegangan antara status keturunan (nasab) dan otoritas keilmuan (‘ilm). Ketika sebagian pihak menekankan kemuliaan karena nasab—bukan karena amal— sebagaimana yang sering dipertontonkan oleh Habaib klan Baalawi, maka di sanalah potensi masalah mulai tumbuh.
Di Indonesia, di mana Islam berkembang melalui jalur ulama dan pesantren yang egaliter, pola kultus keturunan ini sering kali menimbulkan gesekan dengan tradisi keilmuan pesantren yang menilai seseorang dari ilmu, akhlak, dan kontribusinya pada umat.
2. Tesis KH Imaduddin: Membuka Ruang Ilmiah Baru
Munculnya KH Imaduddin Utsman Al-Bantany menjadi titik penting dalam perdebatan ini. Dalam kajiannya yang luas—yang banyak dibicarakan di kalangan akademisi dan pesantren—beliau menggugat klaim genealogis sebagian habaib dari klan Ba‘alawi.
Menurut hasil penelitiannya, klaim nasab tersebut tidak memiliki verifikasi historis dan filologis yang kuat, baik dari sisi manuskrip klasik, sumber sejarah, maupun bukti antropologis modern seperti uji DNA. KH Imaduddin menilai, selama berabad-abad, narasi keturunan ini dibiarkan tumbuh tanpa kontrol akademik, sehingga lebih menyerupai mitos sosial yang dilestarikan oleh tradisi lisan daripada fakta sejarah yang teruji.
Lebih jauh, beliau mengajak umat Islam untuk berpikir kritis dan berani memeriksa ulang narasi besar keagamaan yang selama ini diterima begitu saja atas dasar “sakralitas simbolik”.
3. Kultus Keturunan: Antara Spiritualitas dan Manipulasi Simbol
Salah satu dampak paling nyata dari polemik ini adalah munculnya fenomena kultus habaib di masyarakat. Sebagian umat menempatkan mereka pada posisi suci yang nyaris tak tersentuh kritik—seolah derajat moral seseorang otomatis tinggi karena garis darah.
Fenomena ini sering dimanfaatkan dalam ruang publik, dari mimbar pengajian hingga arena politik, di mana status “dzurriyah Nabi” digunakan sebagai legitimasi moral dan simbol keunggulan spiritual.
Melihat fenomena tersebut, banyak ulama pesantren, cendekiawan, dan masyarakat mulai menyadari bahayanya pengkultusan ini. Dalam sejarah Islam sendiri, Rasulullah ﷺ tidak pernah menjadikan darah sebagai ukuran kemuliaan. Sabda beliau sangat jelas:
مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
(رواه مسلم)
“Barang siapa yang amalnya lambat, maka nasabnya tidak akan mempercepatnya.”
(HR. Muslim)
Islam mengajarkan keadilan dan kesetaraan. Tidak ada kasta dalam Islam, termasuk dalam soal keturunan. Kemuliaan hanya diukur dengan takwa dan amal saleh.
4. Reaksi dan Gelombang Kesadaran Baru
Pernyataan dan kajian KH Imaduddin memicu gelombang kesadaran di kalangan umat Islam Indonesia. Banyak yang mulai menelusuri kembali sejarah penyebaran Islam di Nusantara, membaca ulang manuskrip kuno, dan membandingkan narasi-narasi genealogis yang selama ini beredar.
Di sisi lain, tidak sedikit pula yang merasa tersinggung atau terancam, karena menganggap kritik semacam itu merusak tatanan penghormatan kepada keturunan Rasul. Padahal, sebagaimana dijelaskan KH Imaduddin, kritik ilmiah tidak dimaksudkan untuk merendahkan siapa pun, tetapi justru untuk menyelamatkan agama dari manipulasi simbolik dan penyalahgunaan status suci.
Dalam konteks ini, umat Islam diingatkan untuk kembali pada ajaran Nabi yang murni, bukan pada simbol-simbol genealogis yang bisa diselewengkan untuk kepentingan politik, ekonomi, atau sosial.
5. Krisis Nalar Keagamaan
Polemik habaib sesungguhnya adalah cermin dari krisis nalar keagamaan di tengah masyarakat. Ketika umat kehilangan tradisi ilmiah, maka mitos lebih mudah tumbuh daripada pengetahuan.
Indonesia, dengan sejarah pesantrennya yang panjang, seharusnya mampu menjadi contoh Islam berakal sehat dan berkeadaban, bukan Islam yang terjebak pada simbol darah dan garis keturunan.
Kritik terhadap klaim nasab tidak semestinya dilihat sebagai serangan, melainkan sebagai proses penyucian nalar umat agar agama tidak menjadi alat dominasi. Inilah bentuk cinta sejati kepada Rasulullah ﷺ: bukan dengan menuhankan keturunannya, tetapi dengan menegakkan nilai-nilai yang beliau ajarkan—kejujuran, ilmu, dan keadilan.
6. Saatnya Umat Islam Dewasa Secara Intelektual
Perdebatan soal nasab habaib mestinya menjadi momentum bagi umat Islam Indonesia untuk naik kelas dalam berpikir. Umat perlu belajar membedakan antara penghormatan dan pengkultusan, antara nasab dan akhlak, antara darah dan amal.
Islam datang bukan untuk membangun hierarki sosial, tetapi untuk meruntuhkannya. Maka siapa pun yang mengklaim kemuliaan berdasarkan keturunan tanpa amal—sejatinya sedang bertentangan dengan esensi Islam itu sendiri.
KH Imaduddin dan para ulama kritis lain membuka pintu bagi dialog baru: dialog antara tradisi dan ilmu, antara sejarah dan kesadaran modern. Kini, tanggung jawab umat adalah melanjutkan diskusi ini secara beradab, ilmiah, dan terbuka.
Pada akhirnya, kebenaran tidak ditentukan oleh garis darah, tetapi oleh keberanian berpikir dan kejujuran mencari hakikat. (Gus Damas Alhasy/SN)
