Peristiwa runtuhnya bangunan tiga lantai di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, menjadi duka mendalam bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia. Tragedi yang terjadi pada Senin (29/9/2025) sekitar pukul 15.00 WIB itu menewaskan lebih dari 60 santri, termasuk ditemukannya lima potongan tubuh korban oleh tim SAR gabungan.
Musibah ini bukan sekadar peristiwa fisik tentang ambruknya bangunan, tetapi juga menjadi pengingat spiritual dan moral bagi kita semua tentang pentingnya amanah, kehati-hatian, dan tanggung jawab dalam membangun lembaga pendidikan.
Duka yang Menyatukan Umat
Runtuhnya bangunan mushala tiga lantai yang difungsikan di area asrama putra Ponpes Al Khoziny menimpa para santri saat tengah melaksanakan salat Asar berjemaah.
Pemandangan memilukan terjadi ketika ratusan personel dari Basarnas, BNPB, TNI, Polri, dan berbagai relawan bekerja siang dan malam untuk mengevakuasi korban di tengah reruntuhan. Tangis keluarga, doa para ulama, dan kepedihan masyarakat mengalir deras di sekitar lokasi.
Di tengah duka itu, umat Islam di seluruh penjuru negeri menunjukkan solidaritas luar biasa—menyalurkan bantuan, doa, dan dukungan moral bagi keluarga korban.
Peristiwa ini menggugah kesadaran kolektif bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi rumah spiritual yang dihuni oleh ribuan jiwa muda yang sedang menapaki jalan ilmu dan iman.
Ketika tragedi menimpa, luka yang dirasakan bukan hanya milik satu pesantren, melainkan luka umat Islam seluruh Indonesia.
Fakta dan Temuan di Lapangan
Menurut pernyataan resmi Basarnas Pusat, melalui Kepala Subdirektorat Pengendali Operasi Bencana dan Kondisi Membahayakan Manusia, Emi Freezer, penyebab ambruknya bangunan tersebut disimpulkan sebagai kegagalan konstruksi.
Bangunan empat lantai tersebut mengalami keruntuhan bertingkat atau disebut pancake collapse model, di mana struktur atas menimpa lantai-lantai di bawahnya hingga menyebabkan kerusakan total.
Fakta ini menjadi pelajaran pahit bahwa pembangunan sarana pendidikan, terlebih yang menampung ribuan jiwa santri, tidak boleh dilakukan dengan asal-asalan. Ketelitian, profesionalisme, dan kepatuhan terhadap standar keselamatan menjadi kewajiban moral dan hukum yang tak bisa ditawar.
Al Khoziny: Pesantren Tua, Warisan Ilmu dan Spiritualitas
Ponpes Al Khoziny bukanlah lembaga biasa. Didirikan di kawasan Buduran, Sidoarjo, pondok ini merupakan salah satu pesantren tertua di Jawa Timur yang telah menjadi pusat pembinaan ulama dan melahirkan banyak tokoh penting agama.
Al Khoziny yang masyhur dikenal sebagai Pesantren Buduran merupakan lembaga pesantren yang memegang teguh tradisi pendidikan salaf dengan sistem pengajaran kitab kuning dan pendalaman tarekat.
Di bawah kepemimpinan KH Moch Abbas sejak pertengahan abad ke-20, Al Khoziny berkembang pesat. Pendidikan formal pun mulai diperkenalkan tanpa meninggalkan akar salafiyahnya. Dari pendirian Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Al Khoziny hingga berdirinya Institut Agama Islam (IAI) Al Khoziny, pesantren ini telah berkontribusi besar terhadap lahirnya generasi ulama, pendidik, dan dai yang tersebar di berbagai daerah.
Maka, kehilangan yang menimpa pesantren ini bukan hanya kehilangan fisik bangunan, tetapi juga kehilangan simbol perjalanan panjang lembaga Islam yang menjadi benteng keilmuan di Nusantara.
Hikmah dan Renungan
Setiap musibah mengandung hikmah, dan tragedi ini memberi banyak pelajaran. Pertama, hikmah tentang tanggung jawab manusia terhadap amanah pembangunan. Islam sangat menekankan prinsip kehati-hatian dan profesionalitas, sebagaimana firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”
(QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini menegaskan pentingnya menyerahkan urusan kepada ahlinya — termasuk dalam hal konstruksi bangunan pendidikan yang menyangkut keselamatan manusia.
Kedua, tragedi ini mengingatkan kita akan rapuhnya kehidupan dunia. Dalam sekejap, bangunan megah bisa berubah menjadi puing-puing, dan kehidupan bisa berakhir tanpa disangka. Namun, para santri yang wafat saat menunaikan salat berjemaah adalah syuhada di sisi Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ مَاتَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ دُونَ نَفْسِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
“Barang siapa mati dalam mempertahankan agamanya, dirinya, atau hartanya, maka ia mati syahid.” (HR. Abu Dawud)
Para santri yang wafat dalam ibadah adalah syuhada ilmu dan iman—mereka meninggalkan dunia dalam keadaan suci dan mulia.
Menatap Masa Depan dengan Iktibar
Kita tidak bisa mengembalikan nyawa para korban, tetapi kita bisa mencegah agar tragedi serupa tidak terulang. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus bergandeng tangan memastikan setiap bangunan pesantren memenuhi standar keamanan. Jangan lagi ada kompromi antara efisiensi biaya dan keselamatan manusia.
Musibah ini menjadi momentum refleksi nasional bagi dunia pesantren: bahwa kemajuan spiritual harus berjalan seiring dengan kemajuan manajerial dan teknis. Pesantren harus maju secara sistemik, kuat secara kelembagaan, dan aman secara infrastruktur.
Tragedi Al Khoziny meninggalkan duka yang dalam, tetapi juga membuka pintu kesadaran yang besar. Dari reruntuhan itu, kita belajar arti amanah, kesabaran, dan keteguhan iman. Para santri yang gugur menjadi pelita yang menyala di langit pesantren, mengingatkan bahwa setiap perjuangan ilmu memiliki nilai di sisi Allah.
Semoga Allah menerima amal para syuhada santri, memberikan kekuatan bagi keluarga yang ditinggalkan, dan menjadikan tragedi ini sebagai pelajaran berharga bagi kita semua untuk membangun pesantren yang selamat, kuat, dan bermartabat. (SN)
Penulis: Gus Damas Alhasy, SS.
