Dalam sejarah modern Indonesia, muncul fenomena yang mengkhawatirkan: pembangunan situs-situs religius yang diklaim sebagai “makam tokoh besar” tanpa dasar sejarah yang kuat.
Di sejumlah wilayah ditemukan kuburan baru yang dikaitkan dengan figur habib tertentu, padahal tidak ada bukti historis, arkeologis, atau naskah kuno yang mendukung klaim tersebut.
Fenomena ini, bila dibiarkan, berpotensi mengaburkan sejarah lokal dan menghapus peran ulama asli Nusantara.
Harus disadari bahwa makam bukan sekadar batu nisan, melainkan penanda perjalanan peradaban. Jika penanda itu dipalsukan, maka sejarah pun ikut direkayasa.
Maka gerakan masyarakat yang berupaya menata kembali situs-situs sejarah dan memverifikasi keasliannya harus dipahami sebagai tindakan penyelamatan identitas bangsa.
Pembongkaran makam yang dikawal oleh PWI-LS bukan sekedar penghancuran makam, melainkan upaya pemulihan kebenaran dan pelurusan sejarah.
Sejarah tidak boleh diklaim oleh siapa pun tanpa bukti. Bila makam dijadikan alat legitimasi sosial, maka generasi mendatang akan kehilangan orientasi tentang siapa sebenarnya pahlawan dan pewaris spiritual tanah air ini.
Gerakan Kesadaran Sejarah dan Perjuangan
Gerakan pelurusan sejarah yang berkembang saat ini menunjukkan kebangkitan kesadaran umat Islam Indonesia. Kini banyak peneliti, akademisi, dan ulama yang diinisiasi oleh KH. Imaduddin Utsman Albantany yang mulai menelaah ulang narasi-narasi lama yang selama ini diterima begitu saja oleh umat Islam di negeri ini tanpa kritik.
KH Imaduddin Utsman Albantany, melalui riset ilmiah dan publikasinya menegaskan pentingnya dekolonisasi sejarah Islam Nusantara dari hegemoni klan Baalwi.
Menurut beliau, banyak narasi keislaman yang dikonstruksi seolah-oleh hasil kerja keras habaib Yaman dan pada saat yang sama untuk melemahkan peran ulama pribumi. Mereka memanfaatkan simbol keturunan suci Nabi Muhammad SAW untuk membentuk hierarki sosial yang menguntungkan klan mereka.
Oleh karena itu, tugas generasi sekarang adalah mengembalikan sejarah Islam Nusantara kepada sumber-sumber autentiknya: manuskrip, naskah lokal, silsilah tradisional pesantren, serta kesaksian para ulama.
Gerakan ini harus terus dihidupkan untuk menginspirasi dan menyadarkan umat demi menjaga warisan sejarah Islam dari pemalsuan.
Penertiban makam dan situs keislaman yang tidak memiliki dasar historis yang terverifikasi harus terus dilakukan. Tujuannya bukan untuk menebar permusuhan, tetapi untuk melindungi kebenaran agar umat tidak terperdaya oleh klaim palsu.
Dalil dan Landasan Moral Gerakan Pelurusan Sejarah
Gerakan pelurusan sejarah bukan hanya bersandar pada nalar akademik, tetapi juga berakar kuat pada prinsip-prinsip Islam tentang kejujuran dan keadilan.
«يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ»
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah sekalipun terhadap dirimu sendiri.”
(QS. an-Nisā’ [4]: 135)
Ayat ini menjadi prinsip etika sejarah: berani menegakkan kebenaran walau terhadap diri sendiri. Mengoreksi sejarah yang keliru berarti menunaikan amanah keadilan ilmiah.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
«كُلُّ الْخِلَابِ فِي النَّارِ»
“Setiap bentuk penipuan tempatnya di neraka.”
(HR. Ibn Mājah)
Pemalsuan sejarah termasuk dalam kategori penipuan intelektual dan moral. Oleh karena itu, menolak narasi palsu bukanlah tindakan permusuhan, tetapi bentuk ketakwaan dan penghormatan terhadap kebenaran.
Menjaga Marwah Sejarah dan Persatuan Bangsa
Bangsa Indonesia memiliki tanggung jawab besar terhadap warisan sejarah Islam yang luhur. Ketika sejarah dimanipulasi, maka generasi akan kehilangan arah, dan perpecahan mudah terjadi.
Oleh karena itu, pelurusan sejarah bukan ekspresi kebencian, tetapi semangat mencintai kebenaran dan menjaga marwah umat.
«وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ»
“Katakanlah: Kebenaran itu datang dari Tuhanmu.”
(QS. al-Kahf [18]: 29)
Kebenaran adalah nilai yang suci. Ia tidak mengenal golongan, darah, atau garis keturunan. Siapa pun yang memeliharanya akan dimuliakan oleh Allah.
Maka gerakan pelurusan sejarah, baik yang dilakukan oleh para ulama, peneliti, maupun masyarakat, adalah bagian dari jihad ilmiah — perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan melindungi bangsa dari pengaburan sejarah.
Dalam konteks modern, ini berarti membangun tradisi ilmiah yang kuat, dokumentasi sejarah yang rapi, dan pendidikan masyarakat yang kritis.
Kebenaran sejarah bukan hanya milik masa lalu, melainkan juga amanah bagi masa depan. Bila sejarah dipalsukan, maka masa depan bangsa akan berdiri di atas kebohongan.
Oleh karena itu, tugas ulama, kyai, generasi Islam dan intelektual adalah menjaga kemurnian sejarah Islam Nusantara dengan penuh integritas. (Gus Damas/SN)
